Aku ingin seperti R.A. Kartini
Siapa yang tidak kenal R.A. Kartini, seorang pahlawan nasional Indonesia, penggagas persamaan hak wanita terhadap pria (baca: emansipasi). Perjuangannya demi mewujudkan cita-citanya sampai titik darah penghabisan. Hmmm, she is a hero…….
Ibuku Cuma orang tua yang ingin anaknya berkembang, dengan anggun memperlihatkan keindahan sayapnya pada semua orang. Tapi tahukah kau ibu, apakah anakmu ini bahagia dengan menjadi kupu-kupu dengan sayap indahnya? Atau hanya ingin menjadi ulat sutra yang bahkan orang-orangpun enggan untuk meliriknya?
Aku ingin seperti kartini, menjadi wanita hebat dengan cita-citanya yang tinggi. Mengabaikan cemoohan orang dan pandangan orang serta ketidaksetujuan orang tua tentang cita-cita yang mustahil ia raih. Aku sangat ingin membanggakan dan membahagiakan orang tuaku. Demi mewujudkan mimpi mereka, aku telah merelakan cita-citaku kian menjauh selama hampir 3 tahun ini. Aku bercita-cita menjadi penulis, tapi ibu mau salah satu anaknya menjadi bidan. Aku adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara. Memiliki 3 kakak perempuan dan 1 kakak laki-laki. Ke 3 kakak perempuanku telah selesai menempuh pendidikan sarjananya dan sudah pasti terlambat untuk bisa mewujudkan harapan ibuku, sedangkan kakak laki-lakiku yang jelas-jelas sama sekali tidak bisa diharapkan. Akhirnya harapan itu bertumpu padaku, si anak bungsu. Ini tahun ketigaku, membiarkan cita-cita itu terbang menjauh pelan-pelan dan hampir hilang secara perlahan. Kata mereka, cita-citaku tidaklah menjanjikan masa depan. Karena itu menulis hanya kujadikan hobby selama hampir 3 tahun belakangan ini. kesibukan dan rutinitas kuliah membuatku mulai sedikit melupakan cita-cita lamaku. Mungkin karena 3 tahun yang lalu aku masih terlalu belia untuk bisa memperjuangkan cita-citaku, untuk bisa meyakinkan orang tuaku bahwa kekhawatiran dan ketidaksetujuannya akan cita-citaku tidaklah beralasan. Tapi saat itu bahkan kartini masih berusia 12 tahun. Dia bisa dan berani mewujudkan apa yang diinginkannya sampai akhirnya dia melanhjutkan sekolahnya di Betawi, meski agak melenceng dari keinginannya yang semula yaitu melanjutkan sekolah di Belanda. Dia bahkan berhasil mendirikan sekolah perempuan di masa itu. Tuhan, mengapa aku tidak memiliki keberanian sebesar kartini?
“Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”, salah satu kalimat kartini yang mengena dihatiku. Membuatku kembali berjuang untuk 3 tahun yang telah terbuang.
Hari ini aku menulis lagi. Untuk kesekian kalinya. Mencoba dan terus mencoba menghasilkan sesuatu yang disebut indah. Yach, meski dengan hasil yang belum maksimal. Semua karyaku masih belum bisa disebut indah. Intinya belum ada unsur seninya. Hmm, benar-benar merasa iri dengan orang-orang yang pandai menulis. Bisa menggambarkan sesuatu cuma lewat tulisan tanpa harus melukiskan apa yang ada dibenaknya, benar-benar cukup dengan tulisan. Ahh, aku sungguh ingin seperti kartini……
*****10 agustus 2010***
*****10 agustus 2010***
0 komentar:
Posting Komentar