Ibu belum datang menjemputku

Aku menangisi ini seumur hidupku.
Rasanya seperti punya segalanya saat Ibu ada. Kemudian Ibu pergi, dan aku kehilangan semua yang tadinya terasa mudah untuk digapai.
Pada akhirnya aku menyadari bahwa Ibu adalah seseorang yang bisa menerima, baik dan buruknya kita. Rasanya aku bukan lagi siapa-siapa setelah Ibu pergi.

Pernah suatu hari aku merasakan sakit yang teramat sangat, karena dianggap dan disebut sebagai 'orang lain' oleh kakak kandungku sendiri. Mungkin menurutnya kalimat itu gak akan nyakitin. Tapi karena saat itu aku merasa 'sendiri' dan kehilangan segalanya, kalimat itu membuat dunia seakan runtuh. Bahwa benar adanya sekarang aku bukan siapa-siapa untuk siapapun. Karena Ibu—yang menganggapku segalanya telah pergi, i have nothing in the world! Aku kehilangan Ibu, dan sekarang gak punya siapa-siapa lagi. Sama sekali gak ada sesuatu hal yang aku miliki.
Aku tak lagi punya tempat untuk berbalik dan mengadu.
Malam itu aku menangis sendirian, bertanya lagi kenapa Ibu membiarkanku sendirian di dunia ini. Kenapa Ibu pergi sangat jauh dan terlalu lama? Sejujurnya aku selalu yakin saat sudah tiba waktunya, Ibu yang akan datang menjemput dengan senyum di wajahnya. 

Lalu aku tersadar, tentang kemungkinan alasan kenapa aku sering merasa seperti menunggu—entah apa itu—ketika berada di luar rumah. Aku enggan untuk langsung pulang, dan terus berlama-lama di halte atau di pinggir jalan, menunggu tanpa hasil. Ternyata, selama ini aku menunggu untuk seseorang menjemputku. Dan aku sungguh  berharap itu Ibu.
"Ah mungkin Ibu akan menjemputku hari ini." Lalu hari berlalu begitu saja.
"Oke pasti hari ini dijemputnya."
"Sebentar lagi, gak akan lama."

Terus kayak gitu sampai dengan hari ini.
Aku menunggu tanpa ada seseorang yang datang. Ibu tak juga datang menjemputku.

Malam saat aku menangis sendirian, tak hentinya aku bertanya, "mengapa hanya aku yang sendirian?"
Surprisingly, tiba-tiba keponakanku muncul di sampingku. Tanpa berkata apa-apa, hanya duduk menemani dan sesekali melihat ke arahku.
Tentu aku berusaha menahan tangis, meski nyatanya hati makin teriris perih.
Saat itu keponakanku baru berumur 5 tahun. Mungkin ia bertanya-tanya kenapa orang dewasa menangis dan tak bisa berhenti. Ia menemaniku menangis dalam diamnya. Rasanya seperti Ibu menemaniku.
Keesokan harinya dia bahkan gak bertanya tentang kenapa aku menangis, atau kenapa orang dewasa juga bisa menangis. Mungkin itu jawaban dari Tuhan, bahwa aku gak benar-benar sendirian.



Hey Bu, i miss you. Jangan lama-lama ya jemputnya. Karena rasanya aku semakin melemah. 
Aku janji masih akan terus menunggu lagi kali ini, janji!

Bunuh diri? Jangan sih, ayo kita cari jawabannya & berusaha melawannya bersama-sama!

Pernah gak sih kalian ngerasa di titik terendah hidup kalian?

Di mana kalian lagi-lagi terjatuh saat berusaha bangkit.
Gue gak ngerti kenapa hidup kadang seberat itu. Suatu waktu gue seperti  berdiri di tepi jurang, siap untuk melompat. Selangkah lagi, dan semuanya selesai.
"Ah alangkah baiknya kalau setelah ini kehidupan benar-benar selesai."

Lalu gue melihat ke sekeliling, entah mencari apa. Mungkin alasan untuk terus berjuang hidup. Dan ah akhirnya gue tahu kenapa ada yang namanya BERJUANG HIDUP. Bukan perjuangan melawan orang/manusia lain, bukan perang seperti itu. Tapi ternyata ini adalah perang melawan rasa lelah, terluka, sakit, rapuh, hancur, menyerah, putus asa, hampa. Perang melawan diri sendiri yang mulai melemah. Rasanya seperti ada di tengah padang pasir, dan lw terus berjalan sendirian. Seakan menunggu berpapasan dengan seseorang yg akan membantu melewatinya. Tapi itu jalanan yg tak berujung.
"Ah gue tersesat!"

Saat gue mulai sadar dan kembali di kehidupan nyata, gue tahu ini yang disebut DEPRESI. Gue mencari solusi dari masalah yg gak benar-benar terlihat—tapi gue merasakannya dengan segenap jiwa raga. 


Gue mencari di artikel-artikel, hal apa yg bisa menghentikan gue menuju tepi jurang itu lagi? Bagaimana caranya gue berbalik dari keadaan ini?

Ya, kalian butuh bantuan! Saat hal seperti ini terjadi, kalian harus segera mencari bantuan.
Karena jurang yg kelam dan tak berdasar itu berada tepat di depan kalian.

Temuilah siapa saja, jangan sendirian!
Pergi keluar kamar, hirup udara di luar sana.
Ayo kita cari penyelesaiannya, jangan memikirkannya seorang diri. Karena kalian butuh banyak solusi & pertimbangan, entah itu dari diri sendiri atau mungkin dari orang lain.
Cari alasan untuk menunda keinginan kita untuk bunuh diri. Misalnya; mau makan kue enak dulu besok, mau nonton konser, mau nonton bioskop, mau ketemu idola, dll.

Percayalah ketika kita berani untuk berpikir tentang bunuh diri, itu hanya keberanian sesaat yg bisa kita alihkan. KEBERANIAN untuk mati—yg sesaat— itu bukankah akan lebih baik jika kita pakai untuk BERANI HIDUP?

Yuk kita coba berjuang, meski teramat berat dan sulit.
Bayangkan bahwa detik ini, bukan cuma kita yg menghadapi situasi seperti ini, kita gak sendiri! 
Kita pasti akan bisa menemukan solusinya. Perjuangan kita selama ini tidak akan sia-sia.

KANGEN

Pernah gak sih kalian bermimpi seseorang yang (sepertinya)  belum pernah kalian temui? Kemudian kalian terbangun, dan lupa seperti apa wajah orang itu. Tapi kalian merasa kangen sambil terus berusaha mengingat seperti apa orangnya.

Introvert Bukan Antisosial

Beberapa waktu belakangan ini gue lebih senang di rumah, jarang ke mana-mana, juga lebih nyaman ngapain aja sendiri. Rasanya sangat tenang dan damai karena gak harus menjawab pertanyaan gak penting, gak perlu buang-buang tenaga mengobrol sama orang,  gak mesti capek mengikuti langkah kaki orang, gak perlu memikirkan masalah orang. Semuanya cukup tentang diri gue sendiri. Dan rasanya sangat melegakan karena gue bisa berjalan cepat, lambat atau bahkan berlari tanpa memedulikan orang lain.

Tadinya gue berpikir bahwa ini hanya perasaan sementara dari siklus hidup manusia. Bahwa ada masa dimana dia merasa  lebih nyaman sendiri daripada bersama orang lain, semuanya lebih terkendali saat sendiri.
Lalu gue mulai takut kalau nantinya gue menjadi terbiasa dengan kesendirian, keterusan. Karena sebenarnya dari dulu gue menyadari bahwa gue punya kecenderungan seorang introvert. Gue tahu bahwa kebiasaan gak nyamannya gue berada di tengah-tengah banyak orang itu sebenarnya bukan sekadar demam panggung. Gue bukan orang yang nyaman curhat kepada orang lain, entah itu teman atau keluarga. Gue gak bisa menceritakan permasalahan gue sama orang lain, karena gue gak mau mendengar pendapat yang gak sesuai dengan apa yang gue mau. Gue takut bahwa mungkin pendapat orang lain ternyata membuat gue merasa minder. Gue gak bisa mempermalukan diri gue sendiri di depan orang lain.
And then gue mulai mencari tahu tentang permasalahan gue ini. Apakah ini tentang fase atau siklus hidup manusia yang mungkin memang ada masanya (malas bersosialisasi) kayak gini atau apa ini indikasi dari suatu penyimpangan/kelainan/gangguan kepribadian. Gue menemukan satu artikel yang isinya 100% tentang apa yang gue alami saat ini. Yang tak lain dan tak bukan adalah perihal seorang introvert. Ya, pada akhirnya gue harus mengakui bahwa gue seorang introvert. Dulu saat awal-awal tahu, gue berusaha keluar dari lingkungan introvert itu. Gue gak mau menjadi orang yang introvert. Gue gak mau sendirian, kesepian, gak punya teman, aneh, kaku, canggung saat mengobrol dengan orang lain, dll. Dan ya, itu dulu! Saat gue masih muda, sewaktu masih bersemangat dan punya banyak tenaga. 

Gue mengingat-ingat kapan tepatnya meyakinkan diri bahwa gue seorang introvert. Dan ternyata itu adalah tahun lalu, saat gue ikut kelas menulis. Sejujurnya melalui kelas ini gue berniat ingin menambah teman dan kenalan yang punya kesamaan minat di bidang menulis. Sekali dua kali kelas gue berusaha ramah dengan beberapa orang, tersenyum dan bahkan menyapa—orang yang gue tahu namanya. Sampai suatu ketika gue sudah cukup tahu nama-nama seisi kelas, gue tiba-tiba berubah pikiran. Gue merasa gak perlu kenal mereka lebih jauh, gak harus basa-basi menyapa meski gue tahu namanya. Ya kalau pun gak sengaja bertukar pandang dengan mereka, rasanya gue cukup tersenyum sopan. Atau malah mengabaikan saja beberapa di antaranya—yang menurut gue terlihat menyebalkan. 

Pada akhirnya gue menyadari bahwa terlalu banyak bersosialisasi dengan banyak orang itu gak prioritas di hidup gue. Bukan antisosial sih menurut gue, tapi lebih ke malas bersosialisasi yang berujung pada kemandirian. Karena sebisa mungkin gue melakukan semuanya sendiri,  tanpa perlu dibantu oleh orang lain.
Jelas ini bukan antisosial. Gue tetap menyapa orang yang gue kenal, tetap tersenyum. Gue tetap rileks di depan banyak orang, se-santai mungkin dan gak canggung berbaur dengan orang lain. Dan gue menikmatinya, meski itu melelahkan. Melelahkan dan gak se-menyenangkan sendirian, pastinya. 

Jadi menurut gue introvert itu gak selalu aneh, nerd dan antisosial. Sejujurnya itu hanya karena mereka merasa jauh lebih bebas dan lega saat sendiri. Kebebasan menjadi dirinya sendiri, mengobrol dalam hati dengan dirinya sendiri. Mempergunakan waktunya dengan suka-suka tanpa takut mengganggu waktu orang lain.

Hidup tanpa terbebani dan membebani orang lain.

A Tribute to Kim Jung Hwan, Selamat Tinggal Cinta Pertama (Reply 1988)

Gue memikirkan ini dari dulu.
Kenapa mengingat cinta pertama di masa lalu itu nyesek banget?
Kenapa rasanya kayak ada yang salah dan gak pada tempatnya?
Bahkan ketika di masa sekarang kita melihat lagi si cinta pertama ini, kemudian menyesali perasaan yg dulu-dulu. Merasa konyol, dan udah gak memandang penuh cinta lagi pada orang tersebut. Tapi tetap ada perasaan aneh ini. Yang seringkali tanpa sengaja membuat menangis-gak jelas.
Ah sumpah ini perasaan yang ambigu.

Lalu gue menyadari suatu hal saat nonton Jung Hwan-ke sekian kalinya-di drama korea Reply 1988.
Ternyata yang membuat gue gak rela dan nyesek not Him, bukan si cinta pertama.
Tapi karena gue terlalu sayang dengan semua kenangan itu, perasaan suka yang kayak roket meluncur di udara di masa itu.
Gue berharap ini kenangan yang bukan gue sendiri yang merasakannya. That's why rasanya hancur dan gak ada obatnya selain menangis.

Gue bahagia setelah akhirnya menemukan jawaban dari semua kegalauan sepanjang sepuluh tahun belakangan ini.
Gue lega bahwa ternyata gue gak menangisi orang itu lagi.
Gue bersyukur telah belajar menjadi kuat dan berani bangkit, dan gak terpuruk lagi.

Ketahuilah, cinta pertama gak selalu happy ending. Gak semua orang berhasil mendapatkan cinta pertamanya. Tapi dari cinta pertama inilah kita belajar untuk lebih kuat, semakin kuat.
Dan untuk orang yang berhasil happy ending dengan cinta pertamanya, mereka belajar bertahan dengan orang yang sama setiap harinya. Belajar menerima semua hal dari cinta pertamanya, ikhlas memberi semuanya untuk cinta pertamanya.
So, cinta pertama seperti apa yang kalian miliki?

*Terima kasih kepada Kim Jung Hwan (REPLY 1988) yang telah membuat gue menulis ini.





Keresahan Menjelang 30

Sebenarnya masih dua tahun lagi. Tapi gue yakin dua tahun sangat singkat sampai kalian bahkan gak sadar bahwa tulisan ini sangat PAS untuk kalian.
Gue pernah bercerita tentang kegelisahan gue setiap menjelang ulang tahun-di bulan April.
Ini mulai terjadi kira-kira di usia yang ke-26 tahun.
So di usia 24 atau 25 tahun, kalian sebaiknya menikmati ulang tahun dengan sebaik-baiknya. 😅

Anyway apa saja sih yang berkecamuk di benak kalian saat menginjak tahun di mana usia kalian nanti 26 tahun?
Saat itu kalian akan mulai melihat sekeliling kalian, dan membandingkannnya dengan diri sendiri. Apa yang gak kalian miliki, apa yang gak ada di genggaman kalian.
Lalu kalian akan menyingkirkan segala hal negatif dan berpikir, "ahh gue masih 26 tahun. Masih banyak waktu."

Waktu berlalu, kalian mulai di usia rawan dan sensitif. 27-28 tahun adalah masa tersulit jika kenyataan gak sejalan dengan apa yang kalian impikan.
Kalian menengok ke kanan dan melihat apa saja yang kalian dapatkan, kemudian menoleh ke kiri dan menyadari betapa lebih banyak kehilangan sejauh ini.
Melepaskan, merelakan, mengikhlaskan, menjauhkan. Dan ini tentang banyak hal. Cita-cita, cinta, keluarga, harapan.
Segala yang hilang membuat kalian melihat ke belakang dan ingin mengulang masa lalu.
Kalian akan banyak merenung, menghabiskan banyak waktu untuk berandai-andai. Kemudian saat tersadar, kalian bersusah payah mencoba merancang masa depan baru. Demi mengurangi rasa bersalah di masa lalu.  Mulai susah percaya dengan yang namanya ketulusan, lebih senang bergaul dan berbincang dengan diri sendiri.

Bagi yang telah menikah, sebagian akan mulai flashback ke masa singlenya. Berandai-andai bagaimana hidupnya bila ia gak memutuskan menikah di usia muda. Sedikit terlintas di benaknya apakah mungkin ia akan lebih bahagia daripada sekarang. Melihat cincin di jarinya dan dilema apakah ia dan pasangannya akan selamanya seperti sekarang. Apakah ia terlalu cepat menjadi dewasa?

Mungkin seharusnya kita lebih lama bermanja-manja dengan orangtua kita? Menghabiskan lebih banyak waktu di rumah masa kecil. Menikmati ocehan ibu yang sekarang tak lagi kita dengar.
Masa lalu memang hal yang paling enggan ditinggalkan dan dilupakan. Dan masa depan menjadi sedikit menakutkan untuk sekadar dibayangkan. Yang kalian bisa lakukan adalah menikmati apa yang ada sekarang, apa yang kalian miliki. Jika yang ada di genggaman kalian terasa menyakitkan, ya lepaskan!
Jika yang lain terlihat lebih menyilaukan, coba amati baik-baik. Siapa tahu ternyata itu hanya pantulan dari tempat lain, bukan sinarnya sendiri.

Mari lebih banyak bersyukur atas hikmah dari kehilangan di masa lalu. Berusaha lah untuk lebih banyak menerima kebahagiaan dengan hati dan tangan terbuka. Ayo memberikan yang terbaik untuk sekitar kita dan berharap memperoleh yang terbaik juga dari Tuhan.
Tuhan mempersiapkan suka dan duka yang seimbang untuk kita, karena Ia Sang Pencipta yang Maha Adil dan Bijaksana.

Kelas Menulis dan Berpikir Kreatif

Sedikit bercerita tentang KELAS yang selama hampir tiga bulan kemarin gue ikuti.

KELAS MENULIS DAN BERPIKIR KREATIF (Dasar) sebanyak sepuluh kali pertemuan (setiap hari Sabtu) di Komunitas Salihara (Pasar Minggu Jakarta Selatan).
Gue tahu tentang kelas menulis ini tahun lalu, dari website Komunitas Salihara.
Dan bertekad untuk bergabung di tahun berikutnya (tahun 2017).

Komunitas Salihara ini kegiatan-kegiatannya seperti di Taman Ismail Marzuki. Berbagai macam hal tentang seni, sastra, musik, pameran, teater, dll.
Ada banyak ruangan dengan fungsi berbeda-beda di sini, dan yang paling menarik adalah bangunannya yang instragam-able.

Di komunitas salihara pengajar Kelas Menulis & Berpikir Kreatif adalah AYU UTAMI (penulis yg biasa disebut BILANGANFU).
Sebenarnya gue gak terlalu 'nyambung' dengan beberapa karya Mbak Ayu Utami. Dan memang belum pernah sama sekali membaca bukunya. 😅
Hanya membaca sinopsis dari beberapa novelnya (mungkin next time akan gue coba baca salah satunya).
Beberapa saat sebelum mendaftar gue sempat agak ragu, apa akan cukup memahami cara mengajar Mbak Ayu. Karena (sepertinya) tulisan Mbak Ayu sangat jauh dari yg biasanya gue sukai. Bukan berarti gak bagus, hanya saja bagi gue itu karya yg BERBEDA.

Setiap tulisan (buku/novel/artikel/apapun biasanya memang punya TARGET PEMBACA-nya masing-masing.
Nah maybe—sampai saat ini—gue bukan target pembaca dari novel-novel karya Ayu Utami.
Tapi bisa jadi nanti gue akan sangat suka dan 'nyambung' dengan tulisan-tulisan beliau.
Entah kapan, bisa besok atau mungkin bulan depan. 😊

Sejujurnya gue memang sudah tertarik ikut kelas menulis dari beberapa tahun yg lalu. Gue hampir mendaftar kelas serupa (di tempat lain), dengan pengajar penulis favorit gue (Windy Ariestanty). Namun karena alasan yg crucial (halaaah apa deh itu istilahnya), baru bisa bergabung tahun ini. 😁

Gue mencoba mengenal lebih jauh & lebih dalam sesuatu yg membuat gue 'penasaran' sekaligus nyaman beberapa tahun belakangan ini.
Tanpa target dan harapan pencapaian seperti apa. Hanya ingin mengetahui seperti apa dunia penulisan, dan apakah gue tetap suka setelah mencoba menjalani selama beberapa waktu. Itu kenapa pada akhirnya gue mantap untuk bergabung dengan kelas ini.
Berbekalkan rasa penasaran terhadap dunia tulis-menulis, gue daftar dan berangkat sendiri (mencari tempatnya dan kendaraan untuk menuju ke Salihara).

Apa saja yang diajarkan di kelas menulis ini?
Tentu saja cara yang baik dan benar dalam penulisan.
Kami diberikan tugas setiap minggunya. Menulis Haiku, Kuatrin, Esai, Cerpen. Silakan diklik linknya untuk tahu apa itu HAIKU, KUATRIN, ESAI, CERPEN. Yang menarik, tugas yang kami kumpulkan via email ini dikomentari oleh Mbak Ayu. Sudah bagus atau belum, kurangnya di mana, apakah tanda baca dan ejaan sudah sesuai, struktur cerita sudah cukup kuat atau belum, dan lain-lain.

Jadi bagaimana hasilnya sejauh ini? Gue lebih banyak tahu tentang aturan-aturan penulisan, sehingga membuat gue lebih berhati-hati dalam menulis. Sadar dengan banyaknya kekurangan gue di bidang ini, gue masih akan terus belajar mengenal lebih banyak dan berlatih menulis lebih sering.
Segala sesuatu gak ada yang instan, apalagi sesuatu yang sangat kamu sukai dan inginkan. Jangan terlalu cepat merasa kalah atau gagal, masih banyak waktu dan kesempatan untuk memperbaiki dan mengasah kemampuan.

Membaca membuatmu belajar.
Dan dengan menulis menjadikanmu banyak mengingat hal yang sudah kamu pelajari.

*Maaf nyempil foto #TheMasnyaYangLegendaris. 😁

I Y U T

Iyut (nenek buyut)! Beliau adalah neneknya Ibu. Istri dari pakdhenya nenek gue. Dan Ibu dirawat oleh Iyut dari kecil.
Gue sendiri bahkan lebih sering ke rumah Iyut daripada ke rumah Mbah Dhok (ibunya Bapak). Tidur siang di rumah Iyut paling menyenangkan kala itu. Karena terasa sejuk dengan
banyaknya pepohonan di sekitar rumah.
Gue menangis semalaman di asrama ketika Iyut pergi tahun 2008 lalu.
Semuanya sudah berkumpul di rumah (di Nganjuk Jawa Timur) saat itu.
Besoknya kampus mengizinkan gue pulang selama 3 hari.
Semasa SMA gue sering marah sama Iyut kalau baru bangun tidur udah diajak ngobrol. 
Saat mulai sakit-sakitan Iyut banyak lupa.
Tapi berkali-kali menanyakan gue ada dimana dan bilang kalau handuk gue udah dicuciin.
Ketika Iyut meninggal dan dimandikan, handuk yg dicucinya itulah yg memeluknya untuk terakhir kalinya. 

Dulu Ibu dan Iyut gak selalu akur.
Tapi saat Iyut meninggal, Ibu adalah orang yang menangis paling sering.
Bahkan seingat gue ketika nenek (ibunya Ibu) meninggal, Ibu menangis nggak sebanyak itu.
Ibu adalah seorang cucu yang sudah tua, dan menangis karena ditinggalkan oleh neneknya yang sudah tua.

IBU

Hari ini 6 tahun yang lalu, ibu pergi.
Aku bahkan hampir melupakan hari ini, tanggal ini.
Kemudian aku merenung untuk sesaat.
Begitu banyak yang ingin aku lupakan, sangat banyak.
Teramat banyak yg ingin aku tinggalkan. Kepedihan, luka, duka.
Hey Mom, i miss you!
Setiap hari aku mengingatmu dan kehilanganmu.
Sungguh hari-hari terasa semakin berat tanpa hadirmu, dukunganmu, doamu.
Aku berusaha yang terbaik, meski semuanya terasa tak baik jika tanpamu.
Tanpamu, kadang duniaku terasa kosong.
Seperti berdiri di ruang gelap tak berujung dan tak bertepi.
Tapi aku terus menjalani hidupku, takdirku.
Kadang aku ingin pulang.
Pulang ke rumah dan ada ibu.
Memelukmu...

Sedihku sama sekali bukan urusanmu! You are NOTHING!

Apa ya?
Beberapa waktu belakangan ini gue menyibukkan diri dengan hal lain. Yang biasanya menjadi prioritas ke sekian, yang biasanya hampir terabaikan.
Pekerjaan, kesehatan..
Sebenarnya gue sedang berusaha melupakan kegalauan-kegalauan dan keresahan yang sering muncul.
Dia muncul saat gue menunggu masakan matang di dapur, saat gue minum minuman favorit gue, saat mendengarkan lagu di kamar, saat berjalan menuju rumah, saat melihat orang-orang lalu lalang.
Perasaan itu muncul, dan gue segera mengusirnya.
Karena menurut gue agak gak cocok bagi orang dewasa memikirkan masalah-masalah itu.
Masalah remeh-temeh!
Galau-galauan masalah cinta-cintaan dan sejenisnya.
"Berusaha menjadi orang dewasa sepenuhnya", gue menyebutnya.
Bukan karena pandangan orang lain.
Tapi lebih karena gue sudah terlalu lelah menghabiskan waktu untuk hal semacam itu.
Karena hanya dengan memikirkan hal itu akan menyakiti gue terlalu dalam.
Atau membuat gue berakhir dengan mengasihani diri sendiri.
Gue baik-baik saja.
Hal itu gak akan merusak hidup gue.
Dunia gue gak hancur, gak ada yang bisa menghancurkan hidup gue kecuali diri gue sendiri.
Dia gak layak, siapa pun gak layak!
Orang lain yang hidupnya baik-baik saja gak boleh membuat gue terpuruk.
Gue terus meyakinkan diri gue sendiri tentang itu.
Gue gak butuh dibantu, gue mau berusaha menjadi kuat dengan usaha gue sendiri.
Gue hanya butuh lebih yakin bahwa gue memang bisa melalui tahap ini dengan baik.

Timeline

follow!!!